Sosial Budaya

  Pada akhir abad lalu muncul sebuah fenomena, yang telah dideskripsikan Johann Gottfried Herder dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel sebagai suatu zeitgeist (semangat waktu) yang baru. Zeitgeist yang terjadi pada dekade belakangan ini adalah semangat demokratisasi. Dimulai di Portugal dengan Revolucao dos Cravos (Revolusi Bunga Carnation) pada tanggal 25 April 1974, berlanjut di Yunani pada tanggal 20 Juli ketika rezim militer mundur dan di Spanyol pasca-Franco setahun kemudian, gelombang ketiga demokratisasi berpuncak pada tahun 1990 ketika rezim komunis Uni Soviet dan Eropa Timur tumbang. Kira-kira 8 tahun kemudian, pada tanggal 22 Mei 1998, pemerintahan otokratis yang berkuasa hampir empat dekade berakhir di Indonesia ketika sistem politik yang lebih demokratis dimulai.
Munculnya fenomena zeitgeist ini tentu tak bisa dilepaspisahkan begitu saja dengan sistem politik masa itu. Pada saat itu bahkan sampai sekarang ini banyak negara yang mencita-citakan demokrasi sebagai satu-satunya sistim pemerintahan yang terbaik. Sistim pemerintahan demokrasi ini sejatinya merupakan pemerintahan yang berasal dari rakyat, dikendali oleh rakyat dan demi kesejahteraan takyat itu sendiri. Secara ringkas, pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Robert Heffner mengatakan demokrasi tergantung pada tradisi dan organisasi yang mengajarkan rakyat menjadi terbiasa dalam memperaktekkan kebiasaan-kebiasaan dasar demokrasi. Jika ditelisik lebih jauh, dalam konteks pemerintahan Indonesia yang mengklaim diri sebagai negara besar ke empat yang demokratis, ternyata benih-benih demokrasi sudah ada sebelum Indonesia memilih demokrasi sebagai sistim pemerintahann negaranya. Dengan kata lain, bangsa Indonesia telah menghidupi dasar-dasar demokrasi yang tertanam dalam tradisi dan kebiasaan setiap budaya. Watak demokrasi sudah dikenal oleh orang-orang Indonesia sebelum universalitas demokrasi tiba di Indonesia.  Sebagai contoh, budaya lonto leok di Manggarai yang turut memperkaya kahzanah budaya Indonesia.
Warisan budaya lonto leok yang mencermikan nilai-nilai demokrasi ini telah diturunkan dari nenek moyang hingga terpatri dalam benak orang Manggarai modern. Goet-goet (pantun-pantun) merupakan warisan budaya Manggarai yang sedikit banyak mengajarkan cara hidup berdemokrasi. Goet yang berbunyi “nai ca anggit tuka ca leleng, bantang cama reje leleng; muku ca pu’u neka woleng curup, teu ca ambo neka woleng lako” sudah cukup meneteskan nilai-nilai demokrasi dalam realitas kehidupan orang Manggarai. Nilai-nilai itu diterjemahkan dalam kesamaan hak, mufakat dan keadilan. Nilai-nilai ini cukup kuat mempengaruhi dalam kehidupan sosial, budaya dan ekonomi.
Atas dasar inilah dan karena terlahir serta dibesarkan dalam budaya Manggarai, dalam tulisan mini ini, saya mencoba menyimak nilai demokrasi yang hemat penulis turut memberi sumbangsih yang baik dalam pertumbuhan demokrasi di negeri ini pada umumnya dan di Manggarai pada khususnya.

II. Mbaru Gendang dan Lonto Leok Sekilas
            Mbaru Gendang adalah sebutan orang Manggarai terhadap rumah adat mereka yang berbentuk kerucut. Mbaru = rumah, gendang = alat musik tradisional Manggarai yang terbuat dari kayu dan kulit kambing. Menunjuk pada nama rumah gendang, kita sudah dapat menduga bahwa di rumah itu terdapat atau disimpan gendang. Masih banyak alat musik lain seperti gong, tambur, dan barang pusaka lainnya. Namun, perlu diketahui bahwa kata gendang di sini hanyalah mewakili keseluruhan istilah untuk menunjuk pada pengertian rumah adat.
            Rumah adat ini biasanya hadir dan berdiri kokoh pada setiap kampung (beo) di Manggarai. Alat musik tradisional khususnya gendang yang tersimpan di sana merupakan simbol hak ulayat atas tanah-tanah (lingko-lingko) yang dikuasai. Gendang selalu ada hubungan dengan lingko-lingko yang dimiliki. Ada go’et: gendangn one lingkon pe’ang (ada gendang di rumah adat ada lingko di luar yang menjadi milik suku (wa’u) dalam kampung itu).
            Mbaru gendang sebagai rumah adat dalam kampung mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dari semua rumah lain (mbaru bendar). Ia merupakan rumah milik bersama dari kelompok masyarakat yang mendiami setiap kampung (beo). Dengan kata lain, mbaru gendang merupakan rumah besar dan agung (mbaru mese) bagi semua masyarakat di setiap kampung.



2.1 Bagian-Bagian Mbaru Gendang
            Mbaru gendang mempunyai arsitektur yang khas dan unik. Mbaru gendang ini terdiri atas tiga bagian utama. Setiap bagian ini menyimbolkan aneka dimensi kehidupan orang Manggarai. Tiga bagian itu,  yakni
a.       Kolong rumah (ngaung)
Bagian ini biasa disebut ngaung. Pada ngaung ini terdapat tiang-tiang penopang. Ngaung berfungsi untuk mengikat hewan peliharaan. Ngaung menjadi simbol dunia bawah, dunia gelap, dunia orang-orang meninggal.
b.      Tempat manusia tinggal (bagian tengah rumah)
Bagian ini melambangkan dunia terang dan tempat manusia Manggarai beraksi setiap hari guna memberikan arti bagi hidupnya di dunia ini. Dalam bagian ini kita temukan, pertama, lutur adalah tempat dilaksanakan segala aktivitas manusia seperti upacara adat, musyawarah bagi segala kepentingan, tempat membaringkan jenazah, tempat menerima tamu-tamu penting, dll. Kedua, siri bongkok (tiang agung rumah adat) adalah tiang tengah yaitu tempat gendang dan gong digantung dan tempat bersandarnya pemimpin adat dalam memimpin upacara adat atau peristiwa-peristiwa penting lain yang berhubungan dengan warga desa. Ketiga, lo’ang adalah kamar tidur setiap keluarga yang mendiami rumah adat tersebut. Keempat, sapo, yakni tungku api yang melambangkan kehangatan dalam musyawarah. Kelima, para, yakni pintu, tempat keluar masuknya manusia dan dipakai sebagai tempat dibunuhnya hewan kurban dalam upara adat tertentu.
c.       Atap
Tampak luar, yakni pertama, mangka (gasing) yang terletak di paling puncak rumah gendang. Kedua, rangga kaba laki (tanduk kerbau jantan), berada di bawah gasing dan ketiga, wuwung (atap ijuk) yang berbentuk kerucut. Tampak dalam, yakni pertama, ngando yang merupakan puncak bubungan rumah. Kedua, kinang, yaitu kuda-kuda atap rumah. Ketiga, Renco Sepot Agu Roang Koe, yakni tempat kediaman yang Ilahi yaitu Mori agu Ngaran. Keempat, lempa rae yakni tempat menyimpan makanan cadang sebagai persiapan di muism paceklik. Kelima, lobo, yakni loteng yang digunakan untuk menyimpan makanan yang dikonsumsi setiap hari.
2.2 Fungsi Mbaru Gendang
Mbaru Gendang memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan multi-fungsi. Pertama,  menjadi tempat tinggal pemimpin  atau tua-tua adat (lambang kewibawaan sosial). Kedua, tempat diadakan rapat penting yang berhubungan langsung dengan kepentingan warga kampung (lonto leok) seperti diungkapkan dalam go’et: “neki weki ranga manga kudut bantang pa’ang olo ngaung musi.” (tempat berkumpul semua warga kampung untuk bermusyawarah mufakat). Ketiga, tempat berlangsungnya ritus-ritus adat dalam kampung seperti pesta penti, wagal, dll. Keempat, tempat disemayamkannya anggota keluarga yang meninggal (hae wa’u). Kelima, tempat menerima tamu penting, keenam, tempat menyimpan barang pusaka, simbol kepemilikan tanah bagi warga kampung dan ketujuh, tempat menyimpan alat musik tradisional yang hanya ditabu dalam momen tertentu.
2.3 Budaya Lonto Leok dalam Mbaru Gendang
Secara harafiah lonto leok berarti duduk melingkar. Maksudnya, duduk bersama untuk membicarakan dan menyelesaikan segala persoalan di kampung (beo). Konsep lonto leok bertolak dari bentuk rumah adat yang kerucut. Oleh karena itu, biasanya para warga yang duduk di dalamnya selalu duduk melingkar (lonto leok) sesuai dengan bentuk rumah tersebut.
            Secara realis konsep lonto leok berarti pertemuan atau rapat yang dihadiri oleh warga kampung untuk mengurus segala masalah di kampung tersebut. Dewasa ini, konsep lonto leok ini dipahami secara baru. Lonto leok tak lagi semata-mata pertemuan adat dan mbaru gendang tak otomatis lagi menjadi tempat berlangsungnya acara tersebut. Lebh dari itu, lonto leok  berarti pertemuan apa saja yang berkaitan dengan kesejahteraan bersa warga kampung dan tempat berlangsungnya pun bisa diadakan dimana-mana sesuai kesepakatan dan kebutuhan.
III. Benih Demokrasi Budaya Lonto Leok dalam Mbaru Gendang
Layaknya kebudayaan di seantero nusantara, rumah adat Manggarai juga kaya nilai. Nilai-nilai ini mendasari kehidupan bersama serta mewarnai seluruh aktivitas sosial orang Manggarai. Salah satunya adalah nilai demokrasi.
Ternyata demokrasi sudah dihayati oleh masyarakat Manggarai jauh sebelum sistim pemerintahan ini dipilih menjadi sistim pemerintahan negara Republik Indonesia. Dengan kata lain, karakter demokrasi sudah dihayati oleh orang-orang Manggarai sebelum universalitas demokrasi tiba di Manggarai. Warisan budaya yang diturunkan dari nenek moyang hingga terpatri dalam benak orang Manggarai modern mencermikan nilai-nilai demokrasi  seperti yang kita pahami sekarang ini.
Budaya lonto leok yang sering dilaksanakan dalam Mbaru Gendang merupakan salah satu bukti bahwasannya demokrasi bukanlah hal yang asing di tanah Motang Rua. Mbaru gendang itu sendiri sesungguhnya menyimbolkan demokrasi. Dua prinsip utama arsitekturnya adalah reje leleng bantang cama (permusyawarahan) dan kope oles todo kongkol (kesejahteraan).
Secara kasat mata mungkin kita dapat menemukan benih-benih demokrasi dalam budaya lonto leok. Sebagai contoh, hadirnya semua warga kampung (pa’an olo, ngaung musi), proses lonto leok yang demokratis, dll. Selain itu, jika kita telisik lebih jauh ternyata benih demokrasi terimplisit dalam go’et-go’et yang menjadi prinsip dari lonto leok itu sendiri.
3.1 Prinsip-Prinsip Lonto Leok
Lonto leok dalam mbaru gendang ibarat sebuah rapat para legislatif. Dalam lonto leok selalu menggunakan prinsip-prinsip berikut ini;
a.       Muku ca pu’u neka woleng curup
Artinya, pisang serumpun jangan berbeda kata. Dalam lonto leok yang hadir adalah serumpun warga kampung. Di sana terjadi bantang cama reje leleng (bersama-sama melakukan rapat dengar-pendapat). Hasil dari lonto leok yang diharapkan adalah semua warga seia sekata seperti tumbuhan pisang yang selalu bertumbuh secara merumpun atau mengelompok.
b.      Teu ca ambo neka woleng lako
Artinya, tebu serumpun jangan beda jalan. Prinsip ini juga merujuk pada hasil dari lonto leok tersebut. Maksud dari prinsip ini adalah apa yang telah diputuskan bersama harus diikuti dan dijalani. Beda jalan bukanlah tujuannya.
c.       Ipung ca tiwu neka woleng wintuk
Arti harafiah dari go’et ini adalah ikan sekolam jangan berbeda tindakan. Prinsip ini menekankan kesamaan tindakan. Di sini mau ditunjukkan bahwa semua warga kampung harus bertindak bersama-sama.


d.      Nakeng ca wae neka woleng tae
Artinya, ikan se-kali (sungai) jangan berbeda bicara. Prinsip ini menekankan kesamaan kata. Maksudnya apa yang telah disepakati itulah yang dibicarakan. Neka somor nggara olo sumir nggara musi (jangan plin plan lain ke depan lain ke belakang).
e.       Ema agu anak neka woleng curup
Artinya, ayah dan anak jangan berbeda kata. Prinsip ini menunjukkan bahwa orang tua sejatinya harus sekata dengan anak-anaknya. Dan juga generasi tua harus sekata dengan generasi muda.
f.       Weta agu nara neka woleng bantang
Secara harafiah artinya adalah saudari dan saudara jangan berbeda musyawarah untuk mufakat. Di sini kelihatannya masyarakat Manggarai menjujung tinggi kesamaan martabat wanita dan pria. Oleh karena itu, wanita dan pria harus  memiliki satu kesepakatan. Pola cama-cama ata mendo, teti cama-cama ata geal (pikul sama-sama yang berat, angkat sama-sama yang ringan).
3.2 Proses Lonto Leok dalam Mbaru Gendang
            Salah satu karakter dasar orang Manggarai (perange data Manggarai) suka bergotong royong seperti yang terungkap dalam go’et “gori cama-cama”. Bentuk-bentuk  konkrit dari gotong royong ini, antara lain dalam hal mendirikan rumah, teristimewa membangun mbaru gendang, membangun jalan raya, membiayai pendidikan anak-anak, pada urusan nikah, pada peristiwa kematian, dll.
Orang Manggarai juga tidak ingin membuat keributan dalam relasi soaialnya (toe ngoeng te karukak ka’eng tana). Untuk itu orang Manggarai biasanya loyal atau ta’at pada perintah (lorong perintah) atasan, orang tua atau yang dituakan.
            Dalam setiap bentuk konkrit gotong royong di atas, biasanya masyarakat Manggarai memulainya dengan sebuah pertemuan yang disebut lonto leok. Sebelum acara lonto leok, tu’a gendang menabuh gendang/gong sebagai tanda bahwa ada pertemuan yang akan dilaksanakan.
            Setelah semua warga/yang mewakili hadir pemimpin rapat (tu’a golo) melemparkan tema pertemuan. Tema pertemuan itu kemudian didiskusikan oleh semua warga yang mengikuti pertemuan. Sudah barang tentu di sini terjadi pro dan kontra. Namun, dari pro dan kontra ini akan menghasilkan sebuah keputusan final atau mufakat. Keputusan final yang telah dicapai tentu merupakan keputusan yang satu dan sama. oleh karena itu semua warga harus bersatu melaksanakan keputusan bersama ini. Hal nyata dalam go’et-go’et berikut ini; “nai ca anggi tuka ca leleng, bantang cama reje leleng; muku ca pu’u neka woleng curup, teu ca ambo neka woleng lako”.
IV.  Lonto Leok Riwayatmu Kini: Sebuah Refleksi Kritis
Budaya lonto leok kini perlahan-lahan hilang dalam kehidupan orang Manggarai. pengaruh modernitas seperti sikap pragmatis, individualisme, mulai merongrong keluhuran budaya ini. Manggarai kini dikenal sebagai daerah yang sarat akan masalah. Dari sekalian masalah yang ada di Manggarai yang sering dibicarakan adalah sengketa tanah sampai pada perang tanding yang sampai mengorbankan nyawa manusia.
Budaya lonto leok sebenarnya sangat positif bagi perkembangan demokrasi di bumi nuca lale jika terus diwariskan. Prinsip-prinsip lonto leok yang terimplisit dalam goet-goet (pantun-pantun) merupakan warisan budaya Manggarai yang sedikit banyak mengajarkan cara hidup berdemokrasi. Goet yang berbunyi “nai ca anggi tuka ca leleng, bantang cama reje leleng; muku ca pu’u neka woleng curup, teu ca ambo neka woleng lako” sudah cukup meneteskan nilai-nilai demokrasi dalam realitas kehidupan orang Manggarai. Nilai-nilai itu diterjemahkan dalam kesamaan hak, mufakat dan keadilan. Nilai-nilai ini cukup kuat mempengaruhi dalam kehidupan sosial, budaya dan ekonomi. Namun watak budaya modernitas yang pragmatis dan menunggulkan indiviualisme pelan-pelan menenggelamkan nilai-nilai budaya ini.
Agar nilai-nilai ini tetap eksis maka tidak ada usaha lain selain menghidupkan kembali dalam seluruh aspek kehidupan pada umumnya dan aspek pemerintahan pada khususnya. Lonto leok merupakan demokrasinya orang Manggarai. Setiap daerah memiliki lorong demokrasinya berbeda meski prinsip universal demokrasi tetap berlaku di sana. Oleh sebab itu, semangat ini harus senatiasa berkobar di bumi Motang Rua.

1 komentar: